Kamis, Oktober 29, 2009

Warniaty mohon didukung doa

Tadi maghrib ada sms dari Asmeliardi Banjarmasin via Fatra, mengabarkan bahwa kondisi Warni kian drop dan mohon doa dan kerelaan kita semua. Melalui ini siapapun yang baca, mohon dukung doa untuk Warni, semoga warni diberi kekuatan dan keringanan sakit yang selama ini dilawannya dengan penuh semangat. Amien./yc

Label:

Kamis, Oktober 22, 2009

Ikpp menanti kita di pabelan: undangan.

Sabtu 31 okt dan minggu 1 nov 2009 ini rasanya penting untuk kita luangkan waktu "pulang"ke rumah kita di tromol pos no 1 pabelan magelang jateng.

ada apa? Ikpp sebagai wadah jalinan hati para alumni, sudah dilahirkan, sudah diberi nama, tapi biar tumbuh sehat dan ceria bermutu, perlu kita sama2 cari ramuan. Ahh..kok bahasanya kok ngalor ngidul.

agenda; 1. Update peta alumni dari berbagai wilayah. Jadi tlg masing2 representasi wilayah bercerita ttg dinamika alumni, dari jumlah yang sdh teridentikasi, aktifitas/profesi, kegiatan yg diadakan kalau ada, dan kegiatan potensial kedepan disetiap region.
2. Merakit kapal bersama, artinya mematangkan konsep organisasi, mau kemana,bentuk dan kegiatan.
3.peluncuran website pabelan.

Untuk memudahkan persiapan, tlg yg hadir konfirmasi ke dewi yamina 087883312438. Fatrawati 085727190867. Siapapun yg berminat boleh datang, tp juga siap menindaklanjuti hasil pertemuan.
,


;

Selasa, Oktober 20, 2009

Ke Wonosari


































Pertemuan rutin sudah biasa, tetapi ke Wonosari Gunung Kidul jarang2 ada.
Menempuh perjalanan agak panjang berliku dengan hamparan pegunungan, bukit, sawah dan kebun hijau, menyegarkan mata yang suntuk oleh hiruk-pikuk kota.
Minggu, 18/10/09, tepatnya di rumah adik kelas kita Nur Jannah, alumni yang sekarang berprofesi sebagai bidan di desa Ganjahan, Ponjong, Wonosari. Ia dikaruniai 3 putera. Tiba di rumah hijau, teduh, rehat sebentar minum teh dan kue2 khas Wonosari tak lupa gatot dan tiwul asli super enak. Kemudian tamu digiring menuju tempat pemancingan & restoran yang tak jauh dari rumahnya. Di tempat asri ini, telah menunggu suguhan makan siang: ikan bakar, kepala ikan asam pedas, tempe santan pedas, sop ayam, lalapan dan sambal yang lezaaat abis, buat perut keroncongan segera menyerbu. Usai makan seperti biasa sambutan tuan rumah dan ngobrol2 yang dipimpin ketua IKPP Yk (kak Arif Prajoko) seputar acara rapat yang akan digelar IKPP Pusat di Pabelan 31 okt-1 nov'09 nanti. Beberapa respons teman2 pun muncul. Obrolan santai sambil nikmati es buah dan camilan peyek, buat hadirin lupa bahwa waktu sudah sore sehingga mesti disudahi. Terima kasih Nur Jannah dan suami yang telah manjakan teman2 dengan segala keramahan dan keistimewaan sajiannya. Semoga mendapat limpahan imbalan dariNya, amin.. (fatra)

Label:

Jumat, Oktober 09, 2009

Ceria di Solaria





Munas Golkar di Pekanbaru Riau membawa salah seorang alumni yang cukup terkenal di angkatan 80 yaitu Muhammad Ramli. Kedatangan beliau ke Pekanbaru sebagai salah seorang tim sukses salah satu calon. Tadinya heran juga, kok, M Ramli menghadiri Munas Golkar? Bukankah beliau pernah menjadi calon DPR RI salah satu partai nasionalis beberapa waktu lalu. Tentu saja keheranan ini kita pertanyakan sewaktu bertemu dengan kakak angera yang sedang berusaha menurunkan berat badan itu.
Dengan gayanya yang khas dan penjelasan yan teratur, kita jadi faham dengan langkah politik yang beliau ambil. Karena kepiawaian Ramli lah kenapa beliau dipercaya sebagai tim sukses. Nampaknya kita harus belajar banyak soal ini kepada mantan anggota KPU Kal-Sel ini. Tentunya bagi yang cinta politik.Bagi yang nggak sih, cukup mendengar dan memahami saja sepak terjang beliau. Pokoknya hebat, mantap deh. Karena itu pula kakak angera ini bisa terbang ke mana-mana termasuk pas syawalan di Bandung kemaren. Mudah-mudahan saja pertemuan akhir bulan nanti beliau juga bisa datang. Karena, (nampaknya) Pak Ramli ini sangat mencintai Pabelan, walau dirinya tak berhasil menyunting santri pabelan. (hik234X). Soalnya nih, tentunya berdasarkan pengakuan beliau, sudah berkali-kali dia mencoba mendekati santri pabelan, nggak ada yang nyangkut. Termasuk usahanya mendekati seseorang ketika dia sudah tamat. Nasib...nasib....(peace ya...juga bagi yang ngerasa dideketin. Hik..hik..lagi ah..)

Pokonya, bernostalgia dengan Ramli nggak bosan dan ada aja ceritanya. Ya...walau kadang-kadang agak nyeleneh gitu, tapi asyik...Uus Meimun, Miftah dan diriku nggak pernah mingkem deh. Sayangnya pertemuan terbatas, karena Solaria yang membuat ceria itu mau tutup. Padahal masih banyak yang pengen kita kenang, kita ungkapkan....(nuri)

Label:

Rabu, Oktober 07, 2009

Kenangan Bersama Mbok Nok


Mbok Nok telah pergi tuk selamanya...
tetapi kenangan bersama beliau belum pergi. Belasan tahun yang lalu.. saat kita menginjak sebagai "santri tua" (senior), kita agak akrab dengan lingkungan sekitar asrama, terutama dengan mbok Nok yang rumahnya di belakang gedung Bupati (gedung kelas 5-6 kita), bersebelahan persis dengan asrama Alamsyah. Saat liburan, saat santri tua mesti "jaga Pondok", saat lapar tak kompromi padahal kantin tutup, maka kaki melangkah menuju rumah mbok Nok, tuk beli pecel, nasi goreng bahkan memasak nasi goreng sendiri... Masak nasi goreng dengan bumbu seadanya: bawang merah, bawang putih, cabe rawit hijau dan garam, menghasilkan nasi goreng super pedas yang saat itu terasa paling lezat di dunia. Saat itu, beliau membiarkan kita berkreasi sendiri dengan penuh senyum dan sabar... Untuk persoalan nasi goreng dan jajanan lezat ini, banyak dari kawan2 Angera (Nuri, Ida Munawaroh, Yuni, Lili, Fatra, Misri, dll.) yang punya cerita sendiri ....








Anak2 beliau yang kita kenal adalah: mbak Zulaikha (ustadzah kita), mbak Nurhalimah (ngajar kita juga) dan mbak Atun (dulu masih kecil imut). Mbak Zulaikha sekarang menjadi guru, menetap di Sulawesi dan dikaruniai seorang putera, mbak Nurhalimah bekerja di Tasikmalaya dikaruniai 3 puteri, yang sulung (kuliah di UNY Yk fak. olah raga, smstr akhir) dan yang ke2-3 nyantri di Tasik. Sedangkan mbak Atun sekarang sebagai guru di Pabelan.
Foto mbok Nok di atas adalah foto saat beliau berhaji bersama mbak Zulaikha, sehingga kita layak memanggil beliau "hajjah".
Selamat jalan mbok Hajjah Nok..... (f).

Label:

Sunda memang Beda !!

Panitia memang luar biasa, bukan sekedar mengemas acara yang bermutu tapi santai, tapi satu sisi yang melekat di memori yang datang adalah kulinernya. Bayangkan siang hari, disodori nasi timbel, tumis oncom jengkol pedas, ikan asin tahu bandung..
Sambal lalap khas sundamania dan lihat tuh cara sang tuan rumah sebagai salah satu panitia, mempersilahkan, super ramah-ramah dan semangat 45.
Liwet peda dan mujaer renyah... yang bikin mereka yang gembul mondar-mandir. Sampai sesaat lupa nasehat kyai Hamam, makan yang enak adalah lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Dawet BAndung sebagai penutup pencuci mulut
Panitia bahkan mendatangkan tim khusus dari NTT, Nona Aftar Bibi yang kini bermigrasi memilih jadi warga Bandung :) . tentu panitia yang lain, ada Ifa hanifah, mbak Umi, ahlul bait sendiri, dan lain-lain yang bercucur peluh.
Sabar tak sabar mengantri.... sampai ada yang lewat jalur busway..cerdas tangkas, atau menghindari bukan muhrim, atau karena ada kekhawatiran yang dipendam :).

Selamat untuk panitia IKPP Jabar yang kompak dan kreatif, tuan rumah yang selalu berwajah ikhlas dan sibuk, dan tentu yang hadir jadi sumringah... Apalagi aneka hiburan partisipatif terus melantun, dari penyanyi Banjarmasin M. Ramli Irama dg lagu khasnya "Ayah" dari satu tempat ke tempat lain, Kang Cecep (sang panitia) dan bang Bini yang berpuisi dan tak dimengerti (pisss), belum suara si Iteung (ida Saidah) dg lagu Delman mengingat lagu Jamda, juga anak-anak yang menjadi bagian dari panggung. Moga-moga IKPP tempat lain juga sama semarak dan kreatif macam republik Sunda ini/yc

Label:

Wajah-wajah yang dirindu.

Masih melanjutkan buah cerita dari kangen-kangenan IKPP bandung, ada yang hadir, ustaz Zainal Lampung (2 dri kiri) yang pernah mengajar kita dengan kocak. Dan hasil mengajarkan berbuah pula dengan membawa santri putri cantik keibuan, mbak Ani Luthfianti Wonosobo. Seperti pernah diceritakan kak Nuruddin, mereka mengelola pesantren di Parung. Kalau yang paling kiri, siapa yang tidak ingat? kak Oman. Tapi ingatan tim angera tdk bagus, jadi biar terang, cara mancingnya, kak Oman dulu waktu di Pabelan pacar siapa ya? ". Yang bersangkutan dengan gambalng menyebut nama seseorang. hayyooo siapa ?



Ini wajah mbak Ani Luthfianti yang putra-putrinya juga sudah besar-besar. Sebelah kanan Hastin itu putra pertamanya dengan Aman. Wah sudah besar sekali ya. Siapa mau besanan??

Kalau yang ini? ada cowok tengah yang berbatik... Bukron dari Bali. kalau yang kanan kirinya sudah tidak usah dibahas. Tetapi Bukron banyak yang bertanya dan punya sejarah yang bagi orang atau orang orang tertentu pasti ditunggu kabarnya. Inilah wajahnya. Semoga mengobati rindu, karena reuni tidak bisa bertemu/yc.

Label: ,

Selasa, Oktober 06, 2009

Berita Duka

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.... Telah berpulang ke rahmatullah, ibunda dari kakak kita Nurhalimah (angkt'75) hari ini, Selasa 6/10/09 sktr pkl. 11.45. WIB dan akan dikebumikan dari rumah duka (belakang gdg Bupati) desa Pabelan, hari ini pula pukul 16.00 WIB. Dengan ini, Angera menyampaikan duka yang sedalam2nya, semoga amal baik beliau diterimaNya dan kepada keluarga yang ditinggalkan, semoga diberikan kesabaran n ketabahan, amin ya rabbal 'alamin.. Angera juga mengajak teman2 tuk turut mendoakan beliau. Terima kasih./f

Label:

Pabelan dan Mas Dawam Rahardjo




Dawam Rahardjo bukanlah sosok yang asing buat alumni Pabelan, beliau mempunyai hubungan emosional yang sangat dekat dengan pondok pesantren Pabelan apalagi dengan almarhum Pa Kyai Hammam Dja’far. Ini salah satu karya tulis beliau dalam bentuk fiksi (cerpen) yang di dalamnya disinggung Pesantren Pabelan yang kita cintai, selamat membaca. (alf)

Atheis

Cerpen
M.DawamRahardjo
Dimuat di
Media Indonesia 09/02/2007

KAKAK kami Suparman kini tinggal di Jakarta menjelang masa pensiun. Tapi ia tidak terikat. Karena ia mengelola sebuah perusahaan konsultan sendiri, dengan karyawan sekitar 50 orang. Ia adalah seorang arsitek lulusan ITB. Setelah lulus, ia melamar sebagai arsitek di sebuah perusahaan. Setelah mendapatkan pengalaman, ia mendirikan perusahaan sendiri bersama beberapa orang kawannya. Usahanya ini boleh dikatakan maju, berkat kegiatan pembangunan di Ibu Kota.

Kakak kami itu ialah saudara tertua dalam keluarga kami yang tinggal di sebuah desa bernama Jatiwarno di Wonogiri. Sekitar 30 kilometer dari Kota Solo. Daerah tempat tinggal kami itu dikenal kering. Dulu sering kali menjadi berita di koran karena kelaparan. Di zaman kolonial pernah terjadi busung lapar. Kini Wonogiri tidak lagi kering seperti dulu karena di situ dibangun waduk Gajah Mungkur. Sekarang sudah ada ladang-ladang ubi kayu dan jagung selain sawah padi. Waduk ini juga menjadi pusat pariwisata yang dikunjungi terutama oleh orang-orang Solo. Keluarga kami, keluarga Parto Sentono lebih populer dipanggil Kiai Parto adalah sebuah keluarga yang religius. Ayah kami itu adalah seorang petani yang juga berperan sebagai ulama lokal karena ia adalah santri lulusan Mamba'ul Ulum dan tinggal di pesantren Jamsaren. Jadi ia pernah berguru kepada KH Abu Amar, Ulama Solo yang masyhur itu. Itulah sebabnya Kiai Parto mengirim kami, anak-anaknya, ke pesantren sebagai lembaga pendidikan.

Mas Parman sebagai anak tertua dikirim ke Gontor Ponorogo yang jaraknya tidak jauh dari desa kami. Kakak saya yang kedua Muhammad Ikhsan dipondokkan ke Pesantren Pabelan di bawah pimpinan Kiai Haji Hamam Ja'far. Saya sendiri sebagai anak ketiga cukup bersekolah di Madrasah Al-Islam, Honggowongso, Solo. Jadi saya punya dua orang adik. Yang pertama, dikirim ke Tebu Ireng, sedangkan adik saya yang paling bontot disuruh belajar ke madrasah Mu'alimat Muhammadiyah, Yogyakarta.

Walaupun semuanya berlatar belakang pendidikan pesantren, kami semua mempunyai profesi yang berbeda-beda, misalnya Mas Parman menjadi seorang arsitek, sedangkan saya sendiri menjadi petani jagung dan ubi kayu meneruskan pekerjaan bapak. Karena itulah, saya adalah anak yang paling dekat dengan keluarga dan menyelenggarakan pertemuan halalbihalal setiap tahun dengan keluarga.

Bapak merasa sangat bangga anaknya bisa masuk ke pondok modern Gontor. Mas Parman sendiri juga merasa mantap berguru dengan Kiai Zarkasi dan Kiai Sahal. Di masa sekolah dasar, kami semua dididik langsung oleh bapak kami. Mas Parman ternyata berhasil menjadi seorang santri yang cerdas. Bapak sangat berharap kelak Mas Parman menjadi seorang ulama modern. Bapak memang tidak mengikuti perkembangan anaknya itu sehingga ia merasa terkejut ketika pada suatu hari ia berkunjung ke Gontor, anaknya itu ternyata sudah tidak lagi bersekolah di situ. Namun sebentar kemudian, ia mendengar di mana anaknya berada. Ternyata Mas Parman yang pandai matematika itu ikut ujian SMP negeri dan lulus dengan nilai yang sangat baik. Ia kemudian melamar untuk bersekolah di Solo dan diterima di SMA 2 atau SMA B yang terletak di Banjar Sari. Sekolahnya itu berdekatan dengan SMA 1 jurusan sastra budaya. Sehingga ia banyak bergaul dengan pelajar-pelajar sastra. Walaupun belajar ilmu eksakta, Mas Parman ternyata punya bakat seni. Ia bisa melukis dan membuat puisi. Ia ikut di klub sastra remaja yaitu sastra remaja Harian Nasional di Yogya. Bapak tidak bertanya banyak kepada anak sulungnya itu. Walaupun ia merasa sangat kecewa dan agak marah karena Mas Parman telah mengambil keputusan besar tanpa berkonsultasi dengan Bapak dulu. Saya mewakili keluarga menanyakan perihal keputusannya itu kepada Mas Parman. "Mas, kenapa tidak minta izin bapak dulu ketika Mas keluar dari Gontor?," tanyaku pada suatu hari.

"Kalau aku bilang dulu pada bapak, pasti tidak dikasih izin," jawabnya.

"Kenapa pula Mas berani mengambil keputusan besar itu?" tanyaku lagi. "Aku ternyata tidak betah tinggal di pondok. Aku merasa pesantren ini adalah sebuah masyarakat buatan. Kami hidup menyendiri, dilarang bergaul dengan penduduk desa. Kami di pondok menganggap diri sebagai keluarga ndoro," jawabnya lagi.

"Itu kan karena kepentingan para santri sendiri supaya tidak terkontaminasi oleh pengaruh luar," jelas saya.

"Tapi hidup kan menjadi artifisial, santri hanya diajar sesuatu yang baik tapi tidak mengetahui dunia nyata yang tidak terlalu bersih. Malah banyak kotornya."

"Kalau hanya itu alasannya, mengapa Mas tetap mengambil keputusan?" tanya saya.

"Terus terang saja, aku sendiri jenuh dan bosan hidup di pondok. Aku memahami jika sebagian santri melakukan homo bahkan mencuri-curi bergaul dengan perempuan di luar pondok."

"Nah, itulah akibatnya kalau para santri tidak disiplin."

"Pokoknya aku bosan, yang lebih mendasar lagi aku tidak bisa menerima pelajaran-pelajaran agama. Kupikir pendidikan semacam itu tidak berguna, karena tidak membekali santri untuk bisa hidup dalam realitas yang sering keras itu di luar dunia pesantren. Jadi apa gunanya aku bersusah payah mencapai kelulusan. Itulah maka aku mengambil keputusan untuk pindah sekolah."

"Mas Ikhsan ternyata senang nyantri di Pabelan," ujar saya.

"O... Pabelan itu beda dengan Gontor, Kiainya juga alumni Gontor, tapi ia bisa berbeda dengan Gontor. Santri Pabelan bebas bergaul bahkan diharuskan. Kiai Hamam bisa menerima saran dari LP3ES untuk menyelenggarakan program lingkungan hidup. Pesantren bahkan menyediakan air bersih yang diolah dari kali Pabelan untuk penduduk desa. Kiai Hamam juga membuat pemandian umum desa. Sehingga santri-santrinya bisa bergaul dengan penduduk desa setiap pagi sore sambil mandi bersama."

Mas Parman kemudian melanjutkan perubahan di dalam hidupnya. "Har, aku ingin memberitahukan padamu, perubahan pola hidupku di Solo. Aku sekarang sudah tidak menjalankan salat, juga puasa Ramadan," katanya jujur.

"Mas, apakah ini tidak terlalu jauh? Ibu bapak pasti akan marah besar sama Mas," jawab saya.

"Ya jangan dilaporkan ke ibu bapak, tapi ceritakan saja apa adanya kepada Mas Ikhsan, barangkali ia bisa menerima dengan kepala dingin." Saya kemudian berpisah dengan Mas Parman dan melaksanakan wasiatnya. Tidak henti-hentinya saya berpikir dan merenung, sehingga memberatkan pikiran saya. Sebagai adik kandung, saya menyayangkan keputusan dan langkah radikal Mas Parman. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menerima dengan sedih yang menjadi unek-unek terus-menerus. Sebab, saya pun juga ingin jawaban terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan keputusan kakak saya itu. Saya khawatir sikapnya itu akan memengaruhi kakak dan adikku yang lainnya sehingga unek-unek itu saya sampaikan kepada Mas Ikhsan. Ia juga tampak terkejut tapi hanya terdiam saja tanpa reaksi. Karena itu aku minta kepada Mas Ikhsan untuk bertemu sendiri dengan Mas Parman.

Akhirnya, pada suatu hari, Mas Ikhsan menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan Mas Parman di Solo. Ia tinggal di daerah Manahan. Berikut ini adalah laporan Mas Ikhsan kepadaku dari hasil pertemuannya dengan Mas Parman. "Aku diajak Mas Parman pada suatu malam di suatu warung hik yang masyhur dengan jualan wedang ronde dan makanan tradisional Surakarta. Mas Parman memang romantis. Dia tidak ragu mengajakku menikmati suasana Solo di waktu malam yang dirasakan rakyat jelata. Terkesan olehku bahwa ia memang merakyat hidupnya. Karena setiap kali kami berbincang-bincang, selalu saja ada orang yang menyapa. Ada juga para pengemis dan gelandangan. Di warung hik itulah aku mencoba secara tenang menanyakan banyak hal kepada Mas Parman.

"Mas, aku sudah mendengar semua cerita mengenai dirimu dari adik kita, Haryono, terus terang saja aku terkejut. Timbul seribu satu pertanyaan dalam pikiranku, aku masih seorang santri yang baik dan terus bercita-cita menjadi ulama pemikir modern. Sebagai adik, aku tidak bisa memahami sikapmu. Bahkan aku tidak percaya dengan cerita Haryono, aku juga sudah tanya kepada Haryono bagaimana pandangannya. Tapi ia tidak banyak memberi penjelasan sehingga aku harus langsung bertemu denganmu. Mohon jangan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentarku. Aku bahkan ingin belajar kepada Mas, yang memiliki sebuah pengalaman dramatis."

"O... boleh saja, jadi aku sekarang sudah tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim."

"Kalau begitu, Mas telah murtad?" tanyaku.

"Ya, sebelum hukuman murtad dijatuhkan kepadaku, aku lebih baik keluar saja dulu dari Islam. Sekarang siapa pun juga tidak berhak menghakimiku."

"O... begitu, aku pun tidak akan menghakimimu. Cuma aku ingin bertanya apakah Mas telah meninggalkan seluruh akidah Islam?" tanyaku ingin tahu.

"Ya, aku sekarang seorang atheis, aku sudah tidak percaya kepada Tuhan."

"Lalu status Mas sekarang sebagai apa?" tanyaku.

"Aku sudah menjadi humanis. Aku bercita-cita ingin menjadi pemikir bebas."

"Untuk menjadi orang seperti itu kan tidak perlu meninggalkan akidah. Islam memberi kebebasan."

"Ya aku tahu, aku hanya ingin mengatakan bahwa selama di Gontor aku tidak pernah memperoleh penjelasan yang memuaskan mengenai Tuhan. Dan mengapa orang harus percaya kepada Tuhan. Aku ingin bebas dari belenggu akal dan aku harus bisa mendasarkan perilakuku berdasarkan rasionalitas. Tidak dibelenggu iman dan syariat. Sekarang ini aku merasakan diriku menjadi orang bebas, tanpa belenggu. Ketika menjadi orang Islam aku merasa terjatuh ke dalam belenggu. Sekarang ini aku merasa mengalami pencerahan."

"Mas kan tahu bahwa Islam itu mengajarkan perbuatan baik berdasarkan iman. Jadi manusia memerlukan Tuhan untuk bisa berbuat baik."

"Inilah yang saya tidak setujui dalam Islam. Seperti kamu tahu sendiri, perbuatan baik itu tidak diakui Tuhan jika tidak didasarkan kepada iman. Mengapa harus begitu. Buddha Gautama mengajarkan perbuatan-perbuatan baik tanpa mensyaratkan iman kepada-Nya. Demikian pula Konghucu. Aku suka dengan dua agama yang kita sebut sebagai agama bumi itu. Aku ingin menjadi orang baik tanpa iman. Kalau mendengar keteranganmu itu terkesan olehku bahwa Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, bukannya sebaliknya."

"Astaghfirullahal'adzim."

"Dalam kenyataannya, agama itu hanyalah candu yang membius dan membuat lupa terhadap kesengsaraan dan penindasan yang menimpa mereka."

"Berlindung aku dari bisikan semacam itu."

"Sorry ya, jangan anggap aku sesat. Semuanya itu sudah kupikirkan dan kurenungkan dalam-dalam. Pokoknya aku ingin bebas menjadi humanis."

"Tapi aku yakin bahwa Islam akan membawaku ke sana, tapi sampean punya pendapat yang lain dan aku ingin belajar darimu sebagai seorang kakak tertua."

"Kamu tidak perlu jawaban verbal dariku. Lihat saja perbuatanku. Bukankah agamamu mengajarkan bahwa Tuhan itu akan bisa ditemui dengan perbuatan baik di dunia ini."

"Kalau gitu, Mas masih percaya kepada Tuhan."

"Tidak! Aku tidak bisa percaya pada adanya Tuhan. Aku hanya ingin berbuat baik kepada sesama manusia berdasarkan alasan-alasan yang rasional saja."

"Wah, menurutku manusia yang percaya kepada Tuhan itu tentu akan terdorong untuk berbuat baik, karena itu apa salahnya kita percaya akan adanya Tuhan."

"Ya terserah. Cuma saya tidak mau percaya kepada Tuhan yang diciptakan manusia. Tuhan begini, sama saja dengan dewa-dewa Hindu maupun Yunani."

Begitulah Mas Ikhsan menceritakan kembali dialognya. "Lalu bagaimana tanggapan dan sikapmu?"

"Lakumdinukum waliyadin, biar dia percaya apa yang ia percayai dan kita percaya apa yang kita percayai."

"Lalu bagaimana pandanganmu mengenai kakak kita itu?"

"Aku tidak menganggap dia orang sesat. Ia hanya memilih suatu jalan hidup. Dalam hatiku, aku percaya bahwa Mas Suparman itu sebetulnya percaya kepada Tuhan. Cuma dia tidak mau merumuskan apa Tuhan itu. Bukankah agama kita mengajarkan bahwa apa pun yang kita pikirkan mengenai Tuhan, itu bukan Tuhan. Jadi Tuhan itu diimani saja, tidak perlu dirasionalkan. Walaupun teori-teori mengenai Tuhan boleh saja dikemukakan. Biar dia tidak percaya kepada Tuhan, asalkan ia berbuat baik dan melaksanakan ajaran Islam menurut ukuran-ukuran kita. Tidak perlu kita mensyaratkan iman kepadanya."

Mas Suparman yang kini sudah menjelang masa pensiun itu sekitar enam puluh lima tahunan nampaknya, paling tidak menurut kesan saya, telah mencapai apa yang ia cita-citakan berdasarkan kebebasan yang ia yakini. Saya berpendapat bahwa pada dasarnya, kakak kami itu masih seorang muslim yang baik. Hidupnya sesuai dengan sepuluh wasiat Tuhan yang didendangkan Iin dan Jaka Bimbo.

Pertama aku masih percaya bahwa ia masih punya iman dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Seperti kata Jalaludin Rumi dan Al Halaj, ia pada akhirnya akan memperoleh pengertian Tuhan yang sebetulnya melekat pada dirinya sendiri jika ia masih tetap bisa menjalankan hidup yang benar berarti Allah masih membimbingnya. Cuma, dia tidak tahu dan tidak mengaku. Malah saya berpendapat bahwa sikap Mas Parman itulah yang mencerminkan Tauhid yang semurni-murninya. Wallahu'alam. Kedua, ia berbuat baik kepada ibu bapaknya, ia tidak pernah mau menyakiti kedua orang tuanya. Harus kami akui bahwa di antara kami, Mas Parmanlah yang paling banyak membantu orang tua kami. Ketiga, ia bisa menjaga harta anak-anak yatim, yaitu adik-adiknya, ia tidak mau mengambil bagian warisannya. Ia serahkan semuanya kepada kita. Mas Parman juga membuat yayasan yang menampung anak-anak yatim. Tutur katanya tidak pernah menyakiti orang lain, ia selalu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tercela.***

Label:

Senin, Oktober 05, 2009

Masih di Bulan Syawal...

Kamis 1/10/09 sekitar pukul 19.00, guru2 Pabelan memenuhi Empire XXI Yogya. Ternyata mereka nonton bareng dengan produser film "Ketika Cinta Bertasbih 2", Kaerul Umam (kebetulan tim angera beruntung dapat tiket gratis). Rupanya produser memberi 30 tiket, so pasti guru2 tak melewatkannya, karena di film itu selain ada almamater, ada juga keterlibatan mereka (lumayan jadi artis... keren banget). Ngajar tuk Pondok tercinta adalah tuntutan, kewajiban dan pengabdian.., tetapi bersantai-ria sejenak melepas lelah, juga adalah kebutuhan... Nampak Bu Nyai Ulfah dengan beberapa guru (yang berhasil dijepret angera).















Selain acara nonton, Yogya menjadi semakin meriah, karena tadi malam kedatangan tamu Jakarta: kak Muh. Ramli (NTT, angkt 77), biasa dipanggil "kak Ram" (suami mbak Umi/NTT, alumni angkt 80, betul gak?). Kakak kita: Fajar, Arif Prajoko, Ilyas, Andung n Ilham sempat bersilaturrahmi dengan beliau (di rumah kak Fajar). Sebelumnya kakak2 kita juga bereuni kecil dengan kak Jamal asal Bandung yang kebetulan datang ke Yk. Meski reuni kecil tanpa foto, tapi tak mengurangi keistimewaan bulan Syawal yang penuh barokah... (f).

Label:

Minggu, Oktober 04, 2009

Halal bi Halal IKPP Jawa Barat


Sabtu, 3 Oktober 2009 lalu IKPP Jawa Barat mengadakan acara Halal bi Halal, yang bertempat di Rumah Aman & Hastin (keduanya pasangan Angera) tepatnya di Jatinangor Cileunyi, meski penyelenggaranya IKPP Jabar acara itu juga dihadiri sepasukan IKPP DKI Jakarta dan Ketum IKPP pusat ust Agus Sholeh.
Angakatan 1983, dari kiri Soleh Mara, Ingka, Acong, Ifa, N Aftar, Ida Saidah.
Angakatan 1980, dari kiri : Kang Didin S, Kang Dadan S, Bang Muhammad Ramli, Kang Ma'mun, Teh Yanti, Mba Isna, Bang Fauny, Mbak Istiqomah, Mbak Alfiah, Kang Elly Rahman, Kang Cecep.
Angkatan 1981 , duduk ; Alfan, Aman, Bukron, Ust Santoso (1976). Berdiri: Isnaeni, Hastin, Yuni
Sambutan ketua IKPP Jabar. Dr. Didin Sholahuddin.

Sambutan Ketua Panitia sekaligus Sahibul Bayt.Maman Hanafiah
Menyanyikan lagu "Oh Pondoku" , ambil suara ! oooohhh!, dari kiri Mbak Ummi Saidah, Dewi Yaminah, Ida "Iteung" Saidah







Ada hiburan juga lho, ini tarian kreasi baru persembahan dari murid-murid SDN Cihampelas anak asuh Bu guru Ida Saidah






Bang Muhammad Ramli turut menyumbang sebuah lagu






Di sela-sela acara halal bi halal, Ketum IKPP pusat mencuri waktu untuk mengadakan rapat untuk membahas acara Rekernas IKPP yang direncanakan Sabtu, tanggal 31 Oktober 2009 dan Minggu 1 Nov 1009// Alfan





Label:

Jumat, Oktober 02, 2009

Oleh-oleh dari Baturetno

3 alumni Pabelan, kak Munawir, mbak Tati dan salah satu tim Angera bikin reuni spontan di rumah pak Shomad ayahanda mbak Tati Sholihati. Kak nawir melewati masa-masa berat berlebaran dengan kehilangan kedua orang tuanya dalam jangka waktu kurang dari sebulan dan dilanjut dengan kehilangan ayah mertuanya. Saat ini sedang berfikir keras mengelola amal jariyah bapak ibunya untuk tetap menghidupkan mushola dan majlis ta'lim rutin yang dirintis ibundanya. Semoga semuanya menemukan jalan terbaik.
Mbak Tati Sholihati dan suaminya mas Ading H. A. Putra yang berasal dari Tegal. Mas Ading bertemu dg mbak Tati saat kuliah di UMS. keduanya sekarang bersibuk di dunia pendidikan di Sukodadi tegal dengan 3 putranya. Yang pertama sudah hampir skripsi. Saat Idul Fitri di Gedawung, mas Ading suami mbak Tati yang jadi khotib sholat Ied. Bahagia ketemu mereka.//yun

Label: